Karinding merupakan salah satu alat musik tiup tradisional Sunda. Ada beberapa tempat yang biasa membuat karinding, seperti di lingkung Citamiang, Pasirmukti, (Tasikmalaya), Lewo Malangbong, (Garut), dan Cikalongkulon (Cianjur) yang dibuat dari pelepah kawung (enau). Di Limbangan dan Cililin karinding dibujat dari bambu, dan yang menggunakannya adalah para perempuan, dilihat dari bentuknya saperti tusuk biar mudah ditusukan di sanggul rambut.
Dann bahan enau kebanyakan dipakai oleh lelaki, bentuknya lebih pendek
biar bisa diselipkan dalam wadah rokok. Bentuk karinding ada tiga ruas.
kesenian sunda ini untuk menambah wawasan dan lebih mengetahui kita tentang kebudayaan-kebudayaan sunda
Senin, 11 Maret 2013
Karinding Attack, Band Yang Melestarikan Budaya Sunda
Karinding, Seni Sunda Yang Menggeliat. Pada awalnya saya mengenal alat
musik sunda itu, suling, gamelan, calung, angklung dan kendang. Ternyata
masih banyak khazanah kesenian dan alat-alat musik sunda yang beredar
tetapi tidak terpublikasi dan tidak diajarkan sewaktu sekolah. Saat ini,
ada suatu group musik underground dan lumayan keren yang menggunakan
alat musik ini sebagai alat musik utama. yaitu ‘Karinding Attack”.
Karinding sendiri terbuat dari bambu tua dan kering atau dari pelepah
aren, alat musik tradisional yang dikategorikan sebagai permainan rakyat
ini konon sudah ada di tanah Sunda sejak 300 tahun lalu. Karinding
hanya bisa dimainkan dalam satu kunci nada yang dibunyikannya dengan
meniup dan menggerakan bagian ujung.
"Jika hanya kunci F maka F saja, jika kunci G ya G saja," jelas Dedi (42) dari Komunitas Hong dalam workshop karinding di even Bandung Kotaku Hijau, Lapangan Tegallega dari Sabtu-Minggu (2-3/8/2008).
Jika akan memainkan nada lainnya, lanjut Dedi, pemain karinding cukup mengatur pernafasan.
sebenarnya sekarang banyak kelompok Karinding semakin bertebaran. Namun, kebanyakan semua kelompok Karinding kurang mensosialisasikan alat musik yang cukup unik tersebut atau hanya dijadikan suatu hobi saja. namun, ditengah hal tersebut "Karinding Attack" muncull sebagai grup musik yang mensosialisasikan alat musik karinding dan membawa warna baru pada musik tradisional ini. Kerinding Attack menyatukan musik Karinding dengan musik Metal atau cadas. Sehingga timbul suatu musik yang unik yang enak didengar. Karinding Attack sendiri lebih memilih berkolaborasi dengan musik Metal karena background para personilnya yang berasal dari band-band metal yang cukup terkenal di Kota Bandung seperti "Man Jasad". berikut personil dari Karinding Attack:
Iman Zimbot : Toleat, Suling, Voice
Man Jasad : Karinding and voice
Mang Utun : Karinding
Kimung Core : Karinding and Celempung
Ameng GB : Karinding
Hendra : Karinding and Celempung
Okid Gugat : Karinding
Wisnu Jawis : Karinding
"Jika hanya kunci F maka F saja, jika kunci G ya G saja," jelas Dedi (42) dari Komunitas Hong dalam workshop karinding di even Bandung Kotaku Hijau, Lapangan Tegallega dari Sabtu-Minggu (2-3/8/2008).
Jika akan memainkan nada lainnya, lanjut Dedi, pemain karinding cukup mengatur pernafasan.
sebenarnya sekarang banyak kelompok Karinding semakin bertebaran. Namun, kebanyakan semua kelompok Karinding kurang mensosialisasikan alat musik yang cukup unik tersebut atau hanya dijadikan suatu hobi saja. namun, ditengah hal tersebut "Karinding Attack" muncull sebagai grup musik yang mensosialisasikan alat musik karinding dan membawa warna baru pada musik tradisional ini. Kerinding Attack menyatukan musik Karinding dengan musik Metal atau cadas. Sehingga timbul suatu musik yang unik yang enak didengar. Karinding Attack sendiri lebih memilih berkolaborasi dengan musik Metal karena background para personilnya yang berasal dari band-band metal yang cukup terkenal di Kota Bandung seperti "Man Jasad". berikut personil dari Karinding Attack:
Iman Zimbot : Toleat, Suling, Voice
Man Jasad : Karinding and voice
Mang Utun : Karinding
Kimung Core : Karinding and Celempung
Ameng GB : Karinding
Hendra : Karinding and Celempung
Okid Gugat : Karinding
Wisnu Jawis : Karinding
Pembuatan gendang
Kendang yang baik terbuat dari kayu nangka, kelapa atau cempedak. Kulit kerbau sering digunakan untuk bam (permukaan bagian yang memancarkan ketukan bernada rendah) sedangkan kulit kambing digunakan untuk chang (permukaan luar yang memancarkan ketukan bernada tinggi). Pada tali kulit yang berbentuk "Y" atau tali rotan,
yang dapat dikencangkan atau dikendurkan untuk mengubah nada dasar.
Semakin kencang tarikan kulitnya, maka semakin tinggi pula suara yang
dihasilkannya.
Kendang
Kendang, kendhang, atau gendang adalah instrumen dalam gamelan Jawa Tengah
yang salah satu fungsi utamanya mengatur irama. Instrument ini
dibunyikan dengan tangan, tanpa alat bantu. Jenis kendang yang kecil
disebut ketipung, yang menengah disebut kendang ciblon/kebar. Pasangan
ketipung ada satu lagi bernama kendang gedhe biasa disebut kendang
kalih. Kendang kalih dimainkan pada lagu
atau gendhing yang berkarakter halus seperti ketawang, gendhing kethuk
kalih, dan ladrang irama dadi. Bisa juga dimainkan cepat pada pembukaan
lagu jenis lancaran ,ladrang irama tanggung. Untuk wayangan ada satu
lagi kendhang yang khas yaitu kendhang kosek.
Kendang kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa. Kendang kebanyakan di mainkan sesuai naluri pengendang, sehingga bila dimainkan oleh satu orang denga orang lain maka akan berbeda nuansanya.
Kendang kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa. Kendang kebanyakan di mainkan sesuai naluri pengendang, sehingga bila dimainkan oleh satu orang denga orang lain maka akan berbeda nuansanya.
Suling
Suling adalah alat musik dari keluarga alat musik tiup kayu atau terbuat dari bambu. Suara suling berciri lembut dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya dengan baik.
Suling modern untuk para ahli umumnya terbuat dari perak, emas atau campuran keduanya. Sedangkan suling untuk pelajar umumnya terbuat dari nikel-perak, atau logam yang dilapisi perak.
Suling konser standar ditalakan di C dan mempunyai jangkauan nada 3 oktaf dimulai dari middle C. Akan tetapi, pada beberapa suling untuk para ahli ada kunci tambahan untuk mencapai nada B di bawah middle C. Ini berarti suling merupakan salah satu alat musik orkes yang tinggi, hanya piccolo yang lebih tinggi lagi dari suling. Piccolo adalah suling kecil yang ditalakan satu oktaf lebih tinggi dari suling konser standar. Piccolo juga umumnya digunakan dalam orkes.
Suling konser modern memiliki banyak pilihan. Thumb key B-flat (diciptakan dan dirintis oleh Briccialdi) standar. B foot joint, akan tetapi, adalah pilihan ekstra untuk model menengah ke atas dan profesional.
Suling open-holed, juga biasa disebut French Flute (di mana beberapa kunci memiliki lubang di tengahnya sehingga pemain harus menutupnya dengan jarinya) umum pada pemain tingkat konser. Namun beberapa pemain suling (terutama para pelajar, dan bahkan beberapa para ahli) memilih closed-hole plateau key. Para pelajar umumnya menggunakan penutup sementara untuk menutup lubang tersebut sampai mereka berhasil menguasai penempatan jari yang sangat tepat.
Beberapa orang mempercayai bahwa kunci open-hole mampu menghasilkan suara yang lebih keras dan lebih jelas pada nada-nada rendah.
Suling modern untuk para ahli umumnya terbuat dari perak, emas atau campuran keduanya. Sedangkan suling untuk pelajar umumnya terbuat dari nikel-perak, atau logam yang dilapisi perak.
Suling konser standar ditalakan di C dan mempunyai jangkauan nada 3 oktaf dimulai dari middle C. Akan tetapi, pada beberapa suling untuk para ahli ada kunci tambahan untuk mencapai nada B di bawah middle C. Ini berarti suling merupakan salah satu alat musik orkes yang tinggi, hanya piccolo yang lebih tinggi lagi dari suling. Piccolo adalah suling kecil yang ditalakan satu oktaf lebih tinggi dari suling konser standar. Piccolo juga umumnya digunakan dalam orkes.
Suling konser modern memiliki banyak pilihan. Thumb key B-flat (diciptakan dan dirintis oleh Briccialdi) standar. B foot joint, akan tetapi, adalah pilihan ekstra untuk model menengah ke atas dan profesional.
Suling open-holed, juga biasa disebut French Flute (di mana beberapa kunci memiliki lubang di tengahnya sehingga pemain harus menutupnya dengan jarinya) umum pada pemain tingkat konser. Namun beberapa pemain suling (terutama para pelajar, dan bahkan beberapa para ahli) memilih closed-hole plateau key. Para pelajar umumnya menggunakan penutup sementara untuk menutup lubang tersebut sampai mereka berhasil menguasai penempatan jari yang sangat tepat.
Beberapa orang mempercayai bahwa kunci open-hole mampu menghasilkan suara yang lebih keras dan lebih jelas pada nada-nada rendah.
Alat Musik CELEMPUNG / CELEMPUNG Music Instruments
kenalan yu sama alat musik Celempung, Celempung adalah alat musik yg
terbuat dari bambu yang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam
ruas batang bambu.nah Cara memainkan alat musik ini ada dua cara loh,
yaitu dgn cara memukul kedua alur sembilu dipukul secara bergantian
tergantung kepada ritme2 dan suara yang diinginkan sipemain musik
tersebut dan cara pengolahan suaranya Yaitu tangan kiri dipergunakan
mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari
badan celempung atau bungbung.Celempung ini berasal dari Jawa Barat…yu
kita belajar cara memainkannya bersama-sama kawan…:)
“…KUJANG Simbol PUSAKA Kerajaan GALUH PADJAJARAN dan Masyarakat SUNDA Jawa Barat…”
Kujang adalah senjata tradisional unik dari Jawa barat khususnya Kerajaan Sunda Galuh Padjajaran yang mulai dibuat sekitar abad 8 atau 9 Masehi, yang pada awalnya merupakan alat pertanian.
Namun kemudian Kujang
berkembang menjadi sebuah benda yang bernilai simbolik dan sakral.
Wujud baru tersebut yang kita kenal saat ini, diperkirakan lahir antara
abad 9 – 12 Masehi.
Kujang merupakan Pusaka andalan Kerajaan Galuh Padjajaran,
yang menjadi pegangan raja-raja besar Galuh Padjajaran, yang
diantaranya adalah : Prabu Lingga Buana, Prabu Niskala Wastu Kencana,
Prabu Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, Prabu
Surawisesa Jaya Prakosa dan seluruh raja-raja Sunda.
Kujang merefleksikan
ketajaman dan daya kritis dalam kehidupan, sekaligus juga melambangkan
kekuatan, keberanian untuk melindungi diri dan hal kebenaran. Menjadi
ciri khas, baik sebagai senjata, alat pertanian, perlambang, hiasan
maupun cindera mata. Beberapa peneliti menyatakan istilah Kujang berasal dari kata KUDIHYANG (Kudi dan Hyang) Kudi berasal dari bahasa Sunda Kuno yang berarti kekuatan gaib Sakti.
Sedangkan Hyang bermakna Dewa. Bagi masyarakat Sunda bahkan lebih tinggi, dimana Hyang bermakna di atas Dewa. Hal ini tercermin dalam ajaran “ Desa Prebakti ” dalam naskah “ Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian ” disebutkan “ Dewa Bakti di Hyang ”. Maka secara umum Kujang adalah Pusaka yang mempunyai kekuatan gaib sakti yang berasal dari para Dewa (Hyang).
Kujang Diusulkan Jadi Warisan Dunia
TIM Gugus Hak Kekayaan Intelektual
(HaKI) Budaya Jabar berencana mengusulkan Kujang sebagai warisan budaya
dunia (world heritage).
Demikian diungkapkan Ketua Gugus HaKI
Budaya Jabar, Boeki Wikagoe di sela-sela diskusi pengusulan budaya Jabar
sebagai warisan budaya dunia di Operation Room Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Jabar, Jln. Martadinata Bandung, Jumat (20/7). Kujang dipilih
karena sudah menjadi lambang masyarakat Sunda, bahkan lambang
pemerintah Jabar. "Namun sebelum diajukan sebagai warisan dunia, perlu
ada kajian terlebih dulu. Harus dilindungi dulu sebagai hak kekayaan
intelektual," tandasnya.
Menurut Boeki, pengusulan Kujang sebagai
world heritage harus dilakukan terus-menerus karena UNESCO akan
mengakui satu kebudayaan salah satu negara setiap tahunnya. Artinya,
setiap daerah harus berkompetisi untuk mendaftarkan warisan dunianya,
termasuk Jabar. "Sebelum ke arah sana, kita perkuat datanya dan
melakukan inventarisasi serta pengkajian tentang Kujang, kemudian
didaftarkan ke Kemenhum HAM untuk mendapatkan perlindungan secara HaKI,"
ujarnya.
Mendukung
Staf ahli gubernur, Dede Mariana
menyebutkan, pada prinsipnya Pemprov Jabar mendukung pengusulan Kujang
sebagai warisan dunia kepada UNESCO. Namun sebelumnya harus ada
perlindungan secara budaya, sekalipun prosesnya cukup panjang. "Saya
minta Tim Gugus HaKI bisa berkomunikasi dengan elemen lain. Jangan
sampai ada budaya Sunda, termasuk artefaknya diambil dan diakui daerah
dan negara lain," ujarnya.
Dede pun meminta, jangan hanya
kebendaan, idiom - idiom kesundaan pun harus diakui. Khusus untuk
Kujang, harus segera mencari pandai besi yang bisa membuatnya, termasuk
orang yang bisa menggali dan mengkaji nilai filosofinya. "Bagaimanapun
nilai-nilai filosofi Kujang harus diangkat sebagai bahan kajian dan
penelitian," ujarnya.
Sementara Aris Kurniawan, yang melakukan
penelitian terhadap Kujang selama 7 tahun menyebutkan, Kujang sangat
layak didaftarkan sebagai warisan budaya dunia. Selain sudah digunakan
masyarakat Sunda sejak dulu, Kujang juga menjadi lambang pemerintah
Jabar. "Kujang berhak digunakan masyarakat Sunda sebagai penjaga jati
diri serta ageman masyarakat Sunda yang telah memiliki atikan Sunda dan
keilmuan lainnya," ujarnya.
Dikatakan Aris, Kujang dalam kaidah
keilmuan termasuk dalam kategori wesi aji atau tosa aji. Kedudukan tosan
aji berada di atas senjata atau perkakas. Bahkan menurut beberapa
sumber, tosan aji mengandung pengertian dasar besi yang dimuliakan,
diagungkan atau disakralkan. "Namun sayang, masyarakat Sunda tidak
mengetahui makna Kujang secara menyeluruh. Bahkan Kujang disamakan
dengan senjata atau perkakas lainnya," tandasnya.
Padahal Kujang diciptakan guru tempa,
yakni setingkat empu pencipta keris. Dalam beberapa sumber, ada sejumlah
nama empu dari zaman Pajajaran. Seperti Empu Windu Sarpa Dewa
(Pajajaran Mangkuhan/Pajajaran awal), Empu Ni Mbok Sombro, Empu Kuwung
serta Empu Loning. "Biasanya pembuatan Kujang ini memakan waktu lama
dikarenakan kepentingan simbolis dan memasukkan nilai-nilai luhur di
dalamnya," ujarnya.Aris pun menyabutkan, ada 30 varian Kujang yang
berhasil diungkap dan diteliti. Menurutnya, dalam satu varian ada
puluhan subvarian, namun belum bisa diungkap seluruhnya. "Ini yang harus
menjadi kajian bersama," tandasnya.
Piwejang
Aris pun mempertanyakan arti Kujang. Ada
yang menyebutnya, kukuh kana piwejang. Padahal berdasarkan morfologi,
bentuk perupaan Kujang berasal atau substansi bentuk manusia dan burung.
Bentuk esensi atau substansi manusia merupakan simbol dari ajaran jati
diri atau ka diri, yang merupakan manifestasi wujud penciptaan mahkluk
yang paling sempurna. Sementara bentuk esensi burung merupakan orientasi
atau implementasi dari jati diri (ilmu) yang menuju pencerahan atau
wilayah inti. "Penamaan manuk sebagai lambang kedaulatan negara kemudian
disilipkeun dalam bentuk burung sebagai perupaan saja," ujarnya.
Kujang Pusaka Jati Diri Kisunda
Dalam wacana dan khasanah kebudayaan
Nusantara. Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Jawa
Barat (Sunda) dan mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti menyatakan
bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang
artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat,
sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari
bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang
digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakannya di
dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah, atau dengan
meletakannya diatas tempat tidur. (Hazeu, 1904: 405-406)
Sedangkan Hyang dapat disejajarkan
dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat
Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan diatas Dewa, hal ini tercermin
di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang terdapat dalam naskah Sangyang
Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang.”
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian
sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para
Dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata sejak dahulu hingga saat ini
Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat
Jawa Barat (Sunda).
Sebagai lambang atau simbol dengan
nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai
sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta
pemerintahan; di samping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah
nama dari berbagai organisasi, kesatuan, dan tentunya dipakai pula oleh
Pemda Propinsi Jawa Barat.
Kujang; Ajimat Raja Pasundan
Sebagai
informasi gratis mengenai senjata tradisional masyarakat budaya
Indonesia kedua adalah Kujang, ya kujang adalah salah satu senjata
tradisional masyarakat sunda, yang memiliki nilai budaya yang cukup
diperhitungkan oleh para pengamat budaya. Kujang satu-satunya senjata
yang hanya dimiliki oleh masyarakat sunda, untuk itu marilah kita
ketahui lebih jauh senjata yang satu ini.
Dengan tetap menyisip pesan; tersaji bukan untuk dipuji apalagi dihina melainkan tersaji untuk diketahui dan diperbaiki.
Dari
judulnya sudah terbersit dalam ingatan bahwa kujang adalah senjata
tradisional provinsi Jawa Barat. Senjata ini kenapa dikenal dengan nama
Kujang, karena hampir mirip Bentuknya dengan sabit atau celurit. Namun,
ada kelainan pada bagian punggungnya yang berlubang. Mulanya senjata ini
dipergunakan pada abad ke-4 sebagai alat kebutuhan pertanian. Akan
tetapi pada pada abad ke-9 masehi, nilai kujang menjadi sakral. Pada
masa ini, kujang dipergunakan sebagai senjata pusaka oleh Raja-raja di
tanah Pasundan. Senjata ini diyakini memiliki kekuatan magis, dan
sanggup memberi wibawa dan kesaktian bagi pemiliknya.
Kujang
adalah senjata yang penuh dengan misteri. Dikatakan demikian karena
banyak yang meyakini di dalam Kujang terdapat sebuah kekuatan magis dan
sakral. Bagi kebanyakan orang-orang Sunda, Kujang dianggap tak
sekadar senjata biasa. Melainkan senjata yang memiliki “kekuatan lain”
di luar nalar manusia. Bagi orang-orang Sunda yang tak meyakini adanya
kekuatan lain (gaib) dibalik Kujang pun, pasti akan memperlakukan Kujang
dengan istimewa. Setidaknya menghargai Kujang sebagai hiasan rumah,
bahkan cinderamata. Di sinilah nilai kewibawaan senjata Kujang
dibuktikan.
Kujang
memang memiliki nilai-nilai filosofi bagi orang-orang Sunda Kuno. Dan
proses penciptaannya sangat berkait erat dengan kebutuhan akan kekuatan
lain dari sebuah senjata. Muasal Kujang sendiri sebenarnya terinspirasi
dari sebuah alat kebutuhan pertanian. Alat ini telah dipergunakan secara
luas pada abad ke-4 sampai dengan abadke-7 Masehi. Ketika itu bentuknya
lebih mendekati figure arit atau celurit. Barulah pada abad ke-9, wujud
Kujang mulai berwujud seperti yang kita lihat sekarang. Sejak itulah
image masyarakat soal Kujang telah berubah.
Azimat Raja-Raja
Nilai Kujang
sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali muncul dalam sejarah
Kerajaan Padjadjaran Makukuhan. Tepatnya pada masa pemerintahan Prabu
Kudo Lalean. Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para
raja dan bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan
kesaktian. Suatu ketika, Kudo Lalean tengah melakukan tapa brata di
suatu tempat. Tiba-tiba sang prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang
bentuk Kujang, yang selama ini dipergunakan sebagai alat pertanian.
Kujang (Senjata Tradisional Orang Sunda)
Jawa adalah salah satu dari 5 pulau
besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan
“daerah asal” orang Jawa semata karena di sana ada orang Sunda yang
berdiam di bagian barat Pulau Jawa (Jawa Barat). Mereka (orang Sunda)
mengenal atau memiliki senjata khas yang disebut sebagai kujang. Konon,
bentuk dan nama senjata ini diambil dari rasa kagum orang Sunda terhadap
binatang kud hang atau kidang atau kijang yang gesit, lincah, bertanduk
panjang dan bercabang, sehingga membuat binatang lain takut.
Apabila
dilihat dari bentuk dan ragamnya, kujang dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, yaitu: (1) kujang ciung (kujang yang bentuknya
menyerupai burung ciung); (2) kujang jago (kujang yang bentuknya
menyerupai ayam jago); (3) kujang kuntul (kujang yang bentuknya
menyerupai burung kuntul); (4) kujang bangkong (kujang yang bentuknya
menyerupai bangkong (kodok)); (5) kujang naga (kujang yang bentuknya
menyerupai ular naga); (6) kujang badak (kujang yang bentuknya
menyerupai badak); dan (6) kudi (pakarang dengan bentuk yang menyerupai
kujang namun agak “kurus”). Sedangkan, apabila dilihat dari fungsinya
kujang dapat pula dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: (1) kujang
sebagai pusaka (lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan);
(2) kujang sebagai pakarang (kujang yang berfungsi sebagai senjata untuk
berperang); (3) kujang sebagai pangarak (alat upacara); dan (4) kujang
pamangkas (kujang yang berfungsi sebagai alat dalam pertanian untuk
memangkas, nyacar, dan menebang tanaman).
Struktur Kujang
Sebilah
kujang yang tergolong lengkap umumnya terdiri dari beberapa bagian,
yaitu: (1) papatuk atau congo, yaitu bagian ujung yang runcing yang
digunakan untuk menoreh atau mencungkil; (2) eluk atau siih, yaitu
lekukan-lekukan pada badan kujang yang gunanya untuk mencabik-cabik
tubuh lawan; (3) waruga yaitu badan atau wilahan kujang; (4) mata[1],
yaitu lubang-lubang kecil yang terdapat pada waruga yang jumlahnya
bervariasi, antara 5 hingga 9 lubang. Sebagai catatan, ada juga kujang
yang tidak mempunyai mata yang biasa disebut sebagai kujang buta; (5)
tonggong, yaitu sisi tajam yang terdapat pada bagian punggung kujang;
(6) tadah, yaitu lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang; (7)
paksi, yaitu bagian ekor kujang yang berbentuk lancip; (8) selut, yaitu
ring yang dipasang pada ujung gagang kujang; (9) combong, yaitu lubang
yang terdapat pada gagang kujang; (10) ganja atau landaian yaitu sudut
runcing yang mengarah ke arah ujung kujang; (11) kowak atau sarung
kujang yang terbuat dari kayu samida yang memiliki aroma khas dan dapat
menambah daya magis sebuah kujang; dan (12) pamor berbentuk garis-garis
(sulangkar) atau bintik-bintik (tutul) yang tergambar di atas waruga
kujang. Sulangkar atau tutul pada waruga kunjang, disamping sebagai
penambah nilai artistik juga berfungsi untuk menyimpan racun
sejarah kujang
Nilai Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat, pertama kali muncul
dalam sejarah Kerajaan Padjadjaran Makukuhan dan Panjalu. Tepatnya pada
masa pemerintahan Prabu Kudo Lalean(disebut juga Prabu Kuda Lelean di
tanah Sunda dan Kerajaan Panjalu Ciamis). Prabu Kuda Lelean / Kudo
lalean juga dikenal sebagai Hyang Bunisora dan Batara Guru di Jampang
karena menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang
(Sukabumi).
Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja dan bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu ketika, Prabu Kudo Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini dipergunakan sebagai alat pertanian.
Sejak itu, Kujang secara berangsur-angsur dipergunakan para raja dan bangsawan Kerajaan itu sebagai lambang kewibawaan dan kesaktian. Suatu ketika, Prabu Kudo Lalean tengah melakukan tapa brata di suatu tempat. Tiba-tiba sang prabu mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk Kujang, yang selama ini dipergunakan sebagai alat pertanian.
Minggu, 24 Februari 2013
Sejarah Angklung
Sejak kapan angklung muncul masih belum bisa diketahui secara pasti.
Namun, ada angklung tertua yang usianya sudah mencapai 400 tahun.
Angklung tersebut merupakan Angklung Gubrag yang dibuat di Jasinga,
Bogor, Jawa Barat. Di Serang, angklung jenis ini dianggap sebagai alat
musik sakral yang digunakan saat mengiringi mantera pengobatan orang
sakit atau menolak wabah penyakit.
Angklung memang dikenal berasal dari Jawa Barat. Namun, di beberapa daerah di Indonesia juga ditemukan alat musik tradisional tersebut. Di Bali, angklung digunakan pada saat ritual Ngaben. Di Madura, angklung digunakan sebagai alat musik pengiring arak-arakan. Sementara di Kalimantan Selatan angklung digunakan sebagai pengiring pertunjukan Kuda Gepang. Sejarah mencatat bahwa di Kalimantan Barat juga terdapat angklung, tapi menurut beberapa tokoh kebudayaan, angklung tersebut tidak ada lagi.
Pada masa penjajahan Belanda, angklung menjadi alat musik yang membangkitkan semangat nasionalisme penduduk pribumi. Karena itu, pemerintah Belanda melarang permainan angklung, kecuali jika dimainkan oleh anak-anak dan pengemis karena dianggap tidak memberikan pengaruh apa pun.
Setelah mengalami pasang surut, Daeng Soetigna berhasil menaikkan derajat alat musik angklung. Bahkan, angklung diakui oleh seorang musikus besar asal Australia Igor Hmel Nitsky pada 1955. Angklung dengan suara diatonis yang diciptakan oleh Daeng membuat angklung turut diakui pemerintah sebagai alat pendidikan musik.
Sepeninggal Daeng Soetigna, angklung dikembangkan lagi berdasarkan suara musik Sunda, yaitu salendro, pelog, dan madenda. Orang berjasa yang mengembangkannya adalah Udjo Ngalagena. Udjo yang merupakan salah seorang murid Daeng Soetigna ini mengembangkan alat musik angklung pada 1966.
Sebagai wujud mempertahankan kesenian angklung, Udjo atau biasa dikenal Mang Udjo membangun pusat pembuatan dan pengembangan angklung. Tempat tersebut diberi nama “Saung Angklung Mang Udjo”. Lokasinya berada di Padasuka, Cicaheum, Bandung. Di tempat ini, seringkali diadakan pertunjukan kesenian angklung. Pengunjung yang hadir dapat ikut serta mencoba belajar memainkan alat musik tersebut.
Angklung memang dikenal berasal dari Jawa Barat. Namun, di beberapa daerah di Indonesia juga ditemukan alat musik tradisional tersebut. Di Bali, angklung digunakan pada saat ritual Ngaben. Di Madura, angklung digunakan sebagai alat musik pengiring arak-arakan. Sementara di Kalimantan Selatan angklung digunakan sebagai pengiring pertunjukan Kuda Gepang. Sejarah mencatat bahwa di Kalimantan Barat juga terdapat angklung, tapi menurut beberapa tokoh kebudayaan, angklung tersebut tidak ada lagi.
Pada masa penjajahan Belanda, angklung menjadi alat musik yang membangkitkan semangat nasionalisme penduduk pribumi. Karena itu, pemerintah Belanda melarang permainan angklung, kecuali jika dimainkan oleh anak-anak dan pengemis karena dianggap tidak memberikan pengaruh apa pun.
Setelah mengalami pasang surut, Daeng Soetigna berhasil menaikkan derajat alat musik angklung. Bahkan, angklung diakui oleh seorang musikus besar asal Australia Igor Hmel Nitsky pada 1955. Angklung dengan suara diatonis yang diciptakan oleh Daeng membuat angklung turut diakui pemerintah sebagai alat pendidikan musik.
Sepeninggal Daeng Soetigna, angklung dikembangkan lagi berdasarkan suara musik Sunda, yaitu salendro, pelog, dan madenda. Orang berjasa yang mengembangkannya adalah Udjo Ngalagena. Udjo yang merupakan salah seorang murid Daeng Soetigna ini mengembangkan alat musik angklung pada 1966.
Sebagai wujud mempertahankan kesenian angklung, Udjo atau biasa dikenal Mang Udjo membangun pusat pembuatan dan pengembangan angklung. Tempat tersebut diberi nama “Saung Angklung Mang Udjo”. Lokasinya berada di Padasuka, Cicaheum, Bandung. Di tempat ini, seringkali diadakan pertunjukan kesenian angklung. Pengunjung yang hadir dapat ikut serta mencoba belajar memainkan alat musik tersebut.
Asal Mula Alat Musik Angklung
Bandung, yang berada di tanah parahyangan erat kaitannya dengan
kesenian tradisi sunda dimana terdapat bermacam-macam alat kesenian yang
diwariskan salah satu diantaranya alat kesenian tradisi sunda yang
dinamakan sebagai angklung, alat musik tradisional yang terbuat dari
bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh
benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar
dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar
maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi
Sunda kebanyakan adalah salendro dan pelog.
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung dan calung, dimana calung dikenal sebagai alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung dan calung, dimana calung dikenal sebagai alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Calung, Riwayatmu Kini
Calung, mungkin terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Tidak
banyak yang mengetahui alat musik tradisional khas Sunda ini. Padahal
prototipe dari Angklung ini juga memiliki harmoni yang sedap didengar
dan tentunya memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi.
Berbeda dengan Angklung, Calung tidak dimainkan dengan cara digoyangkan melainkan dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu yang digunakan biasanya bambu awi wulung atau bambu hitam. Meski terkadang dapat dijumpau Calung yang terbuat dari awi temen atau bambu putih.
Calung dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran oleh anak-anak pada waktu itu. Asal usul terciptanya musik bambu calung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut. Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana, yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama calung.
Perkembangan selanjutnya dalam permainan calung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (berirama) dengan pola dan aturan-aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan dan calung.
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
Calung Rantay
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.
Calung Jinjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.
Calung jinjing yang digunakan dalam pertunjukan biasa bertangga nada Salendro ( bertangga nada Pelog ) serta Madenda ( nyorog ). Waditra calung jinjing merupakan perkembangan dari bentuk calung Rantai/ calung Gambang , calung dalam bentuk ini sudah merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan .
Calung jinjing berasal dari bentuk dasar calung rantay ini telah dibuat dalam empat bagian bentuk wadrita yang terpisah , keempat buah wadrita terpisah ini memainkan dengan cara dijinjing oleh empat pemain dan masing-masing memegang calung dalam fungsi berbeda . Wadrita calung terdiri dari 1. Kingking, 2. Panepas, 3. jongjong, 4. gonggong, sedangkan Calung Kingking jumlahnya limabelas nada / oktaf dalam nada yang paling kecil ( tertinggi )
Calung Panepas jumlahnya lima potong untuk lima nada (1 Oktaf) nadanya merupakan sambungan nada terendah calung kingking dan dari lima nada tersebut ada yang yang dibagi dua ada yang digorok ( disatukan jongjong seperti halnya panepas yang berbeda hanya nadanya yang lebih rendah dari panepas ) nada panepas bentuknya selalu tinggi dibagi dua yaitu 3 potong untuk nada berturut-turut dari yang tinggi , dua potong untuk dua nada lanjutan
Calung Gonggong merupakan calung yang paling besar jumlahnya hanya dua bumbung yang disatukan keduanya dalam nada rendah diantara keseluruhan calung . Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal adalah calung jinjing.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Pengemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan.
Seni pertunjukkan calung saat ini telah mengalami banyak perkembangan dalam penyajiannya dan bentuknya. Pada awal keberadaannya kesenian calung berfungsi sebagai sarana ritual, yaitu upacara penghormatan terhadap Dewi Sri pada perayaan panen, namun seiring berjalannya waktu, pertunjukan calung kini bergeser fungsi menjadi sarana hiburan bagi masyarakat umum. Hal ini terjadi setelah calung mengalami perubahan dalam pengemasannya.
Setelah mengalami masa perkembangan dalam bentuk dan kemasannya , kesenian calung telah melahirkan banyak grup yang cukup dikenal oleh masyarakat, diantaranya calung UNPAD, calung Ria Buana, calung DAMAS, Layungsari, grup calung Glamour , Jebrag dan banyak lainnya.
Dari beberapa grup calung di atas telah melahirkan para vokalis atau penyanyi calung yang pada prinsipnya memiliki sebuah warna vokal atau ciri yang khas di bandingkan jenis vokal pada karawitan Sunda, seperti pada kawih, tembang, dan sebagainya. Salah satu penyanyi lagu-lagu calung yang cukup dikenal masyarakat hingga kini adalah Hendarso atau Darso. Masyarakat mengenal dengan baik sosok Darso dari gaya yang khas dalam membawakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Suara vokal yang disertai ornamentasi-ornamentasi, gaya berpakaian dan sikap dalam bernyanyi seakan-akan menjadi suatu ciri yang khas dan akrab bagi masyarakat. Mengutip ungkapan Yus Wiradiredja dalam Iman Herawandi bahwa : ‘Kelebihan dari grup lain, Calung Darso memiliki penggarapan seni yang baik, terutama penyajian dan pengolahan suaranya belum ada yang menyisihkan’. Hal ini diperkuat oleh pendapat Ubun Kubarsah pada sumber yang sama :
“Grup Calung Darso memiliki identitas pembawaan vocal dari juru sekarnya yaitu Hendarso dalam menyanyikan lagu-lagu, baik karya lagu sendiri atau karya orang lain, teknik vocal khas, bentuk lagu sederhana banyak ornamentasinya. Sehingga setiap lagu yang dibawakan baik lagu sendiri maupun lagu orang lain terasa lagu tersebut memiliki identitas suara Darso” ( Herawandi 1997:6).
Tidak diketahui apa yang melatarbelakangi penampilan Hendarso dalam membawakan setiap lagu yang dinyanyikannya, suaranya, cara berpakaiannya, apakah ia ‘mencontoh’ penampilan dari salah seorang penyanyi yang pernah ada sebelumnya, ataukah ini dapat dipandang sebagai sebuah kreativitas dari seorang Hendarso. Seperti yang di ungkapkan Guilford dalam Deni Hermawan mengenai definisi kreativitas pada dimensi person menyatakan :”Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people” (Kreatifitas diartikan sebagai kemampuan yang merupakan sifat-sifat orang kreatif) . Ataukah kreativitas Darso terbentuk melalui sebuah proses berkesenian, mengacu pada pendapat Munandar yang menyatakan :”Creativity is a process that manifest it self in fluency, in flexibility as well as in originality of thinking” (Kreativitas adalah suatu proses yang tercermin sendiri dalam kelancaran, keluwesan juga keaslian pemikiran) .
Jika ditinjau dari hasil karya seni, kata “calung” memiliki dua arti, yaitu sebagai alat karawitan (waditra) dan sebagai Seni Pertunjukan.Pengertian Calung, sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam Kamus Umum Basa Sunda, terbitan Lembaga Basa dan Sastra Sunda, artinya “tatabeuhan tina awi guluntungan, aya nu siga gambang, aya nu ditiir sarta ditakolannana bari dijingjing”. Bahan baku pembuatan calung mempergunakan bambu. Bambu yang biasa dipergunakan untuk membuat calung adalah bambu wulung atau dikenal nama awi wulung yang berwarna hitam atau putih.
Tentunya berbagai alat musik yang digunakan memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pada awalnya, calung berfungsi sebagai sarana upacara ritual masyarakat sunda. Calung difungsikan sebagai alat pengiring dalam upacara adat seperti mapag sri. Selain sebagai media upacara ritual, calung pun berfungsi sebagai alat hiburan dan seni pertunjukan.
Dalam perkembangannya, fungsi calung bergeser pada fungsi yang terakhir, yakni sebagai seni pertunjukan.Sebagai seni pertunjukan yang menggunakan alat pokok calung, calung telah melahirkan beberapa seniman.Kita lihat saja seniman asal Jawa Barat, Hendarso (Darso), yang menunjukkan bakat seninya yang diiringi dengan calung. Sebenarnya, para inohong Sunda sangat bergembira dengan munculnya Darso.Darso telah dianggap mempopulerkan calung sebagai alat musik tradisional sunda.
Gaya seni pertunjukan Darso ternyata telah merasuk kepada para penerus musik tradisional sunda.Untuk mengikuti perkembangan zaman, sekarang calung telah dipadukan dengan jenis musik tertentu, yakni dangdut. Ada sebutan yang menarik bagi jenis musik calung ini, yaitu caldut (calung dangdut).
Kesenian tradisional Calung Tarawangsa Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu khasanah musik tradisional Jawa Barat yang sudah dikenal sejak abad ke 18. Kondisinya saat ini semakin memprihatinkan akibat terhimpit kesenian lain yang lebih modern. “Selain akibat modernisasi yang terus menggerus nilai-nilai kelokalan sampai di pelosok pedesaan. Punahnya kesenian tradisional, juga akibat ditinggalkan pemainya berpulang ke Rachmatullah dan juga ditinggalkan generasi mudanya yang sebenarnya sebagai pewaris,” ujar Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, Dra. Hj. Rosdiana Rachmiwaty, MM.
Padahal menurut Rosdiana, selain merupakan bagian kekayaan bangsa, kesenian tradisional seperti halnya Calung Tarawangsa Cibalong merupakan jatidiri serta ciri bangsa.
“Di mana seperti diungkapkan para pelakunya, bahwa mereka mendapat warisan kesenian tersebut dari kakek buyutnya untuk senantiasa dijaga dan dirawat karena menjadi bagian dari ciri bangsa yang pernah dibuktikan sebagai alat penyambut rombongan kerajaan Thailand yang berkunjung ke kerajaan Sukapura (Tasikmalaya) dan kerajaan Galuh (Ciamis),” terang Rosdiana.
Meski terdengar hebat pada zamannya, namun kesenian Calung kini mulai jarang terdengar di setiap pagelaran. Kesenian khas Jawa Barat tersebut kini mulai tergeser dengan kesenian barat yang kerap mengisi telinga anak-anak hingga orang dewasa, di setiap acara yang melibatkan orang banyak. (rk)
Berbeda dengan Angklung, Calung tidak dimainkan dengan cara digoyangkan melainkan dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu yang digunakan biasanya bambu awi wulung atau bambu hitam. Meski terkadang dapat dijumpau Calung yang terbuat dari awi temen atau bambu putih.
Calung dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran oleh anak-anak pada waktu itu. Asal usul terciptanya musik bambu calung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut. Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana, yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama calung.
Perkembangan selanjutnya dalam permainan calung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (berirama) dengan pola dan aturan-aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan dan calung.
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
Calung Rantay
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.
Calung Jinjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.
Calung jinjing yang digunakan dalam pertunjukan biasa bertangga nada Salendro ( bertangga nada Pelog ) serta Madenda ( nyorog ). Waditra calung jinjing merupakan perkembangan dari bentuk calung Rantai/ calung Gambang , calung dalam bentuk ini sudah merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan .
Calung jinjing berasal dari bentuk dasar calung rantay ini telah dibuat dalam empat bagian bentuk wadrita yang terpisah , keempat buah wadrita terpisah ini memainkan dengan cara dijinjing oleh empat pemain dan masing-masing memegang calung dalam fungsi berbeda . Wadrita calung terdiri dari 1. Kingking, 2. Panepas, 3. jongjong, 4. gonggong, sedangkan Calung Kingking jumlahnya limabelas nada / oktaf dalam nada yang paling kecil ( tertinggi )
Calung Panepas jumlahnya lima potong untuk lima nada (1 Oktaf) nadanya merupakan sambungan nada terendah calung kingking dan dari lima nada tersebut ada yang yang dibagi dua ada yang digorok ( disatukan jongjong seperti halnya panepas yang berbeda hanya nadanya yang lebih rendah dari panepas ) nada panepas bentuknya selalu tinggi dibagi dua yaitu 3 potong untuk nada berturut-turut dari yang tinggi , dua potong untuk dua nada lanjutan
Calung Gonggong merupakan calung yang paling besar jumlahnya hanya dua bumbung yang disatukan keduanya dalam nada rendah diantara keseluruhan calung . Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal adalah calung jinjing.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Pengemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan.
Seni pertunjukkan calung saat ini telah mengalami banyak perkembangan dalam penyajiannya dan bentuknya. Pada awal keberadaannya kesenian calung berfungsi sebagai sarana ritual, yaitu upacara penghormatan terhadap Dewi Sri pada perayaan panen, namun seiring berjalannya waktu, pertunjukan calung kini bergeser fungsi menjadi sarana hiburan bagi masyarakat umum. Hal ini terjadi setelah calung mengalami perubahan dalam pengemasannya.
Setelah mengalami masa perkembangan dalam bentuk dan kemasannya , kesenian calung telah melahirkan banyak grup yang cukup dikenal oleh masyarakat, diantaranya calung UNPAD, calung Ria Buana, calung DAMAS, Layungsari, grup calung Glamour , Jebrag dan banyak lainnya.
Dari beberapa grup calung di atas telah melahirkan para vokalis atau penyanyi calung yang pada prinsipnya memiliki sebuah warna vokal atau ciri yang khas di bandingkan jenis vokal pada karawitan Sunda, seperti pada kawih, tembang, dan sebagainya. Salah satu penyanyi lagu-lagu calung yang cukup dikenal masyarakat hingga kini adalah Hendarso atau Darso. Masyarakat mengenal dengan baik sosok Darso dari gaya yang khas dalam membawakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Suara vokal yang disertai ornamentasi-ornamentasi, gaya berpakaian dan sikap dalam bernyanyi seakan-akan menjadi suatu ciri yang khas dan akrab bagi masyarakat. Mengutip ungkapan Yus Wiradiredja dalam Iman Herawandi bahwa : ‘Kelebihan dari grup lain, Calung Darso memiliki penggarapan seni yang baik, terutama penyajian dan pengolahan suaranya belum ada yang menyisihkan’. Hal ini diperkuat oleh pendapat Ubun Kubarsah pada sumber yang sama :
“Grup Calung Darso memiliki identitas pembawaan vocal dari juru sekarnya yaitu Hendarso dalam menyanyikan lagu-lagu, baik karya lagu sendiri atau karya orang lain, teknik vocal khas, bentuk lagu sederhana banyak ornamentasinya. Sehingga setiap lagu yang dibawakan baik lagu sendiri maupun lagu orang lain terasa lagu tersebut memiliki identitas suara Darso” ( Herawandi 1997:6).
Tidak diketahui apa yang melatarbelakangi penampilan Hendarso dalam membawakan setiap lagu yang dinyanyikannya, suaranya, cara berpakaiannya, apakah ia ‘mencontoh’ penampilan dari salah seorang penyanyi yang pernah ada sebelumnya, ataukah ini dapat dipandang sebagai sebuah kreativitas dari seorang Hendarso. Seperti yang di ungkapkan Guilford dalam Deni Hermawan mengenai definisi kreativitas pada dimensi person menyatakan :”Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people” (Kreatifitas diartikan sebagai kemampuan yang merupakan sifat-sifat orang kreatif) . Ataukah kreativitas Darso terbentuk melalui sebuah proses berkesenian, mengacu pada pendapat Munandar yang menyatakan :”Creativity is a process that manifest it self in fluency, in flexibility as well as in originality of thinking” (Kreativitas adalah suatu proses yang tercermin sendiri dalam kelancaran, keluwesan juga keaslian pemikiran) .
Jika ditinjau dari hasil karya seni, kata “calung” memiliki dua arti, yaitu sebagai alat karawitan (waditra) dan sebagai Seni Pertunjukan.Pengertian Calung, sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam Kamus Umum Basa Sunda, terbitan Lembaga Basa dan Sastra Sunda, artinya “tatabeuhan tina awi guluntungan, aya nu siga gambang, aya nu ditiir sarta ditakolannana bari dijingjing”. Bahan baku pembuatan calung mempergunakan bambu. Bambu yang biasa dipergunakan untuk membuat calung adalah bambu wulung atau dikenal nama awi wulung yang berwarna hitam atau putih.
Tentunya berbagai alat musik yang digunakan memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pada awalnya, calung berfungsi sebagai sarana upacara ritual masyarakat sunda. Calung difungsikan sebagai alat pengiring dalam upacara adat seperti mapag sri. Selain sebagai media upacara ritual, calung pun berfungsi sebagai alat hiburan dan seni pertunjukan.
Dalam perkembangannya, fungsi calung bergeser pada fungsi yang terakhir, yakni sebagai seni pertunjukan.Sebagai seni pertunjukan yang menggunakan alat pokok calung, calung telah melahirkan beberapa seniman.Kita lihat saja seniman asal Jawa Barat, Hendarso (Darso), yang menunjukkan bakat seninya yang diiringi dengan calung. Sebenarnya, para inohong Sunda sangat bergembira dengan munculnya Darso.Darso telah dianggap mempopulerkan calung sebagai alat musik tradisional sunda.
Gaya seni pertunjukan Darso ternyata telah merasuk kepada para penerus musik tradisional sunda.Untuk mengikuti perkembangan zaman, sekarang calung telah dipadukan dengan jenis musik tertentu, yakni dangdut. Ada sebutan yang menarik bagi jenis musik calung ini, yaitu caldut (calung dangdut).
Kesenian tradisional Calung Tarawangsa Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu khasanah musik tradisional Jawa Barat yang sudah dikenal sejak abad ke 18. Kondisinya saat ini semakin memprihatinkan akibat terhimpit kesenian lain yang lebih modern. “Selain akibat modernisasi yang terus menggerus nilai-nilai kelokalan sampai di pelosok pedesaan. Punahnya kesenian tradisional, juga akibat ditinggalkan pemainya berpulang ke Rachmatullah dan juga ditinggalkan generasi mudanya yang sebenarnya sebagai pewaris,” ujar Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, Dra. Hj. Rosdiana Rachmiwaty, MM.
Padahal menurut Rosdiana, selain merupakan bagian kekayaan bangsa, kesenian tradisional seperti halnya Calung Tarawangsa Cibalong merupakan jatidiri serta ciri bangsa.
“Di mana seperti diungkapkan para pelakunya, bahwa mereka mendapat warisan kesenian tersebut dari kakek buyutnya untuk senantiasa dijaga dan dirawat karena menjadi bagian dari ciri bangsa yang pernah dibuktikan sebagai alat penyambut rombongan kerajaan Thailand yang berkunjung ke kerajaan Sukapura (Tasikmalaya) dan kerajaan Galuh (Ciamis),” terang Rosdiana.
Meski terdengar hebat pada zamannya, namun kesenian Calung kini mulai jarang terdengar di setiap pagelaran. Kesenian khas Jawa Barat tersebut kini mulai tergeser dengan kesenian barat yang kerap mengisi telinga anak-anak hingga orang dewasa, di setiap acara yang melibatkan orang banyak. (rk)
Sejarah dan Asal Usul Keris Dan Kegunaannya
Keris adalah sejenis pedang pendek yang berasal dari pulau Jawa, Indonesia.
Keris
purba telah digunakan antara abad ke-9 dan 14. Selain digunakan sebagai
senjata,keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supranatural.
Keris terbagi menjadi tiga bagian yaitu mata, hulu, dan sarung.
Beberapa jenis keris memiliki mata pedang yang berkelok-kelok. Senjata
ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti
keris Mpu Gandring dalam legenda Ken Arok dan Ken Dedes.
Keris
sendiri sebenarnya adalah senjata khas yang digunakan oleh
daerah-daerah yang memiliki rumpun Melayu atau bangsa Melayu.Pada saat
ini, Keberadaan Keris sangat umum dikenal di daerah Indonesia terutama
di daerah pulau Jawa dan Sumatra, Malaysia, Brunei, Thailand dan
Filipina khususnya di daerah Filipina selatan (Pulau Mindanao). Namun,
bila dibandingkan dengan Indonesia dan Malaysia, keberadaan keris dan
pembuatnya di Filipina telah menjadi hal yang sangat langka dan bahkan
hampir punah.
Sumber: Sejarah dan Asal Usul Keris Dan Kegunaannya - Yafi Blog http://yafi20.blogspot.com/2011/12/sejarah-dan-asal-usul-keris-dan.html#ixzz2LmFrmJ14
Celempung Bambu (Alat Musik Pukul Tradisional Jawa Barat)
Celempung merupakan alat musik tradisional dari JawaBarat yang asal mula keberadaannya tidak diketahui berasal darimana dan kapan alat musik tersebut diciptakan.
Celempung sendiri merupakan alat musik yang terbuat dari hinis bambu yang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam ruas batang bambu. Saat ini celempung yang waditranya mempergunakan bambu masih dipertahankan di Desa Narimbang Kecamatan Con
http://youtu.be/GM0xTJq4T8c
Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi
kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring.
Cara memainkan
alat musik ini ada dua cara, yaitu :
a) cara memukul; kedua alur sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara yang diinginkan pemain musik,
b) pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung
(badan) celempung.
Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka
lebih besar, sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat Suara
celempung bisa bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain
musik. Untuk saat ini alat musik ini sudah jarang dimainkan , dalam ensambel celempungan perannya sudah diganti dengan kendang.
ggeang Kabupaten Sumedang.Bagian-bagian waruga kujang
Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki
lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini
disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang
juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala
Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba,
Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat
siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan
dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka, yaitu Neraka.
SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG
Kujang sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini
berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu.
Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum
ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci.
Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara)
yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang
banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih
lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung
Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir
abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal
(pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan
intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang
besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul
Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar
langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan
sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam
setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi,
jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara
menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai
kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah
kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau
melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor
tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera
Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan
gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh
disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini
tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M)
maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di
daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang
sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini
pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi
masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran
bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang
berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan
cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru
kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir
antara abad 9 sampai abad 12.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak
dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda
obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan
kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping
yang tersimpan di museum-museum.
Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk kujang
pada lambang-lambang daerah, pada badge badge organisasi kemasyarakatan
atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan), sebagai benda
aksesori atau cenderamata.
Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten
masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata
hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan”
(tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten,
Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten
Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang
Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Dalam lingkungan
budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada
upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan
pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun
Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala
subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas)
masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).
sumber: http://pv-garut.blogspot.com/
Asal Usul Pusaka Kujang
Kujang adalah salah satu senjata khas dari daerah Jawa Barat, tepatnya
di Pasundan (tatar Sunda). bentuk senjata ini cukup unik, dari segi
desainnya tak ada yang menyamai senjata ini di daerah manapun, senjata
ini di Jawa Barat. Tidak adanya kata yang tepat untuk menyebutkan nama
senjata ini ke dalam bahasa International, sehingga Kujang dianggap sama
pengertiannya dengan “sickle” (= arit / sabit), tentu ini sangat
menyimpang jauh karena dari segi wujudnya pun berbeda dengan arit atau
sabit. Tidak sama juga dengan “scimitar” yang bentuknya cembung. Dan di
Indonesia sendiri arit atau sabit sebetulnya disebut “chelurit”
(celurit). Mungkin untuk merespon kendala bahasa tersebut, tugas dan
kewajiban budayawan sunda, dan media cetak lokal di tatarsunda yang
harus lebih intensif mempublikasikannya senjata Kujang ini ke dunia
International.
Asal muasal istilah Kujang berasal dari kata "Kudihyang" dengan akar
kata "Kudi" dan "Hyang". "Kudi" diambil dari bahasa Sunda Kuno yang
memilii pengertian senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai
jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau
menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan benda pusaka,
yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya
di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan
meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406) Sedangkan
"Hyang" dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa
mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan
di atas Dewa, hal ini tercermin di dalam ajaran “Dasa Prebakti” yang
tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan
“Dewa bakti di Hyang”. Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai
pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa
(=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini
Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat
Jawa Barat (Sunda). Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai
filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu
estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan.
BAGIAN BAGIAN KUJANG :
- Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.
- Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.
- Waruga; nama bilahan (badan) kujang.
- Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang- lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.
- Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untukmematikan musuh secara cepat.
- Tonggong; sisi yg tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.
- Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.
- Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.
- Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.
- Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).
- Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).
- Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.
- Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang.
sumber: http://pv-garut.blogspot.com
Senin, 11 Februari 2013
Asal Usul Situ Patenggang atau Situ Patengan
Nama Situ Patengan berasal dari bahasa Sunda, “Pateangan-teangan” yang
artinya saling mencari. Dikisahkan dahulu kala ada sepasang sejoli
yaitu Ki Santang dan Dewi Rengganis yang saling mencintai. Mereka
berpisah sekian lamanya, dan saling mencari.
Akhirnya mereka bertemu di tempat yang dinamakan Batu Cinta. Dewi
Rengganis pun minta dibuatkan danau dan sebuah perahu untuk berlayar
bersama. Perahu inilah yang sampai sekarang menjadi sebuah pulau yang
berbentuk hati (pulau Asmara/pulau Sasaka).Situ Patengan atau Situ Patenggang terletak di daerah Ciwidey, Bandung Selatan, Indonesia. Situ patenggang dapat di capai dari Jakarta melalui Tol Cipularang dengan jarak tempuh sekitar 185 km (keluar melalui pintu tol kopo) atau berjarak 5 km dari lokasi objek wisata Kawah Putih.
Jika ingin menggunakan kendaraan umum, anda harus menuju terminal Ciwidey dengan menggunakan Bus atau Elf dari terminal Leuwi Panjang dengan tarif sekitar Rp. 6.000, kemudian dilanjutkan menggunakan angkot langsung ke pintu masuk Situ Patengan (banyak terdapat di terminal Ciwidey) dengan tarif sekitar Rp.10.000.\
sumber: http://www.adadibandung.com
Asal Usul Gunung Tangkuban Perahu
Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat
rekreasi yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban
Perahu artinya adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena
bentuknya memang menyerupai perahu yang terbalik. Konon menurut cerita
rakyat parahyangan gunung itu memang merupakan perahu yang terbalik.
Berikut ini ceritanya.
Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan pusing. Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.
Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya.
Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada pada anaknya dimana Tumang berada. Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa, Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.
Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang mulai bekerja. Cintanya yang begitu besar pada Sangkuriang memberinya suatu kekuatan aneh. Tak lupa dia juga menggunakan kekuatan yang dia dapat dari ayahnya untuk memanggil jin-jin dan membantunya. Dengan lumpur dan tanah mereka membendung air dari sungai dan mata air. Beberapa saat sebelum fajar, Sangkuriang menebang sebatang pohon besar untuk membuat sebuah perahu. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya, dia berdoa pada dewa-dewa untuk merintangi pekerjaan anaknya dan mempercepat datangnya pagi.
Ayam jantan berkokok, matahari terbit lebih cepat dari biasanya dan Sangkuriang menyadari bahwa dia telah ditipu. Dengan sangat marah dia mengutuk Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya yang hampir jadi ke tengah hutan. Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan membentuk Gunung Tangkuban Perahu(perahu yang menelungkub). Tidak jauh dari tempat itu terdapat tunggul pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita mengenalnya sebagai Bukit Tunggul. Bendungan yang dibuat Sangkuriang menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan membentuk sebuah danau dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga kini.
sumber; legendakita.wordpress
Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan pusing. Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.
Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya.
Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada pada anaknya dimana Tumang berada. Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa, Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.
Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang mulai bekerja. Cintanya yang begitu besar pada Sangkuriang memberinya suatu kekuatan aneh. Tak lupa dia juga menggunakan kekuatan yang dia dapat dari ayahnya untuk memanggil jin-jin dan membantunya. Dengan lumpur dan tanah mereka membendung air dari sungai dan mata air. Beberapa saat sebelum fajar, Sangkuriang menebang sebatang pohon besar untuk membuat sebuah perahu. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya, dia berdoa pada dewa-dewa untuk merintangi pekerjaan anaknya dan mempercepat datangnya pagi.
Ayam jantan berkokok, matahari terbit lebih cepat dari biasanya dan Sangkuriang menyadari bahwa dia telah ditipu. Dengan sangat marah dia mengutuk Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya yang hampir jadi ke tengah hutan. Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan membentuk Gunung Tangkuban Perahu(perahu yang menelungkub). Tidak jauh dari tempat itu terdapat tunggul pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita mengenalnya sebagai Bukit Tunggul. Bendungan yang dibuat Sangkuriang menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan membentuk sebuah danau dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga kini.
sumber; legendakita.wordpress
Sejarah Gasibu
- Gasibu dari singkatan kata. Definisi gasibu yang lain:
sumberJangan Ubah Nama Gasibu!
SEHUBUNGAN dengan maraknya pemakaian Lapangan Gasibu Bandung oleh berbagai kegiatan sejumlah event organizer yang menggunakan nama “Gazeboo”, “Gazybu” dll., saya merasa perlu meluruskan nama tersebut. Penamaan Lapangan Gasibu mempunyai sejarah sbb:
Sekira tahun 1953 berdiri lapangan sepak bola yang berlokasi di Jalan Badaksinga. Di sana sering diselenggarakan pertandingan antar persatuan sepak bola (PS) yang ada waktu itu bola yang digunakan masih sangat sederhana (menggunakan pentil dan digosok pakai lilin).
Berhubung lokasi lapangan akan dibangun projek air bersih dengan nama HBM (sekarang PDAM), para pengurus PS berembuk dan meminta izin kepada pemerintah untuk memakai lokasi di depan Gedung Sate yang pada saat itu masih berupa semak belukar. Setelah mendapat izin dari pemerintah, para pencinta sepak bola waktu itu melakukan kerja bakti untuk membangun lapangan sepak bola tersebut dan pada tahun 1955 lapangan sepak bola yang sangat sederhana terbentuk dan diberi nama Gasibu (Gabungan Sepak Bola Indonesia Bandung Utara).
Pada saat itu dibentuk suatu panitia kecil untuk mengelola lapangan Gasibu dengan susunan sbb:
Ketua
1. PORL (Persatuan Olah Raga Rukun Luyu dari Balubur);
2. PAKSI dari Sekeloa;
3. PORAS dari Sadang Serang.
Anggota:
Fajar (Cihampelas),
Setia (Muararajeun),
Budi (Cicendo),
Rimba (Muararajeun),
Perkesh (Cikaso),
Persani (Nangkasuni),
Fargo (Braga Permorin),
Persit (Coblong),
Siod Cihaurgeulis,
Bara (Bagusrangin),
Rikat (Cibarengkok) dll.
Dengan melihat sejarah nama Lapangan Gasibu tersebut, saya mengimbau kepada semua pihak untuk tidak mengubah nama tersebut menjadi Gazibu, Gazeboo dll
.http://4.bp.blogspot.com/_nSaKWbi
Jumat, 08 Februari 2013
Aksara Kaganga
Aksara Kaganga merupakan sebuah nama kumpulan beberapa aksara
yang berkerabat di Sumatra sebelah selatan. Aksara-aksara yang termasuk
kelompok ini adalah antara lain aksara Rejang, Lampung, Rencong dan lain-lain.
Nama kaganga ini merujuk pada ketiga aksara pertama dan mengingatkan kita kepada urutan aksara di India.
Istilah kaganga diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of Hull (Inggris) dalam buku Folk literature of South Sumatra. Redjang Ka-Ga-Nga texts. Canberra, The Australian National University 1964. Istilah asli yang digunakan oleh masyarakat di Sumatra sebelah selatan adalah Surat Ulu.
Aksara Batak atau Surat Batak juga berkerabat dengan kelompok Surat Ulu akan tetapi urutannya berbeda. Diperkirakan zaman dahulu di seluruh pulau Sumatra dari Aceh di ujung utara sampai Lampung di ujung selatan, menggunakan aksara yang berkerabat dengan kelompok aksara Kaganga (Surat Ulu) ini. Tetapi di Aceh dan di daerah Sumatera Tengah (Minangkabau dan Riau), yang dipergunakan sejak lama adalah huruf Jawi.
Perbedaan utama antara aksara Surat Ulu dengan aksara Jawa ialah bahwa aksara Surat Ulu tidak memiliki pasangan sehingga jauh lebih sederhana daripada aksara Jawa, dan sangat mudah untuk dipelajari .
Aksara Surat Ulu diperkirakan berkembang dari aksara Pallawa dan aksara Kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan.
Nama kaganga ini merujuk pada ketiga aksara pertama dan mengingatkan kita kepada urutan aksara di India.
Istilah kaganga diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of Hull (Inggris) dalam buku Folk literature of South Sumatra. Redjang Ka-Ga-Nga texts. Canberra, The Australian National University 1964. Istilah asli yang digunakan oleh masyarakat di Sumatra sebelah selatan adalah Surat Ulu.
Aksara Batak atau Surat Batak juga berkerabat dengan kelompok Surat Ulu akan tetapi urutannya berbeda. Diperkirakan zaman dahulu di seluruh pulau Sumatra dari Aceh di ujung utara sampai Lampung di ujung selatan, menggunakan aksara yang berkerabat dengan kelompok aksara Kaganga (Surat Ulu) ini. Tetapi di Aceh dan di daerah Sumatera Tengah (Minangkabau dan Riau), yang dipergunakan sejak lama adalah huruf Jawi.
Perbedaan utama antara aksara Surat Ulu dengan aksara Jawa ialah bahwa aksara Surat Ulu tidak memiliki pasangan sehingga jauh lebih sederhana daripada aksara Jawa, dan sangat mudah untuk dipelajari .
Aksara Surat Ulu diperkirakan berkembang dari aksara Pallawa dan aksara Kawi yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan.
Kronologi Sejarah Sunda
Kerajaan
Sunda (669-1579 M), menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang
berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan
oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah
primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu
kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten,
Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Berdasarkan
naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan
Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi
tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad
ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford
University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah
timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali
Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi
Jawa Tengah.
Kata
Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu
yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/
watak/ karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak /
karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener
(benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah
ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad
ke- 17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000
tahun.
Sunda
merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat pulau
Jawa dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru dunia.
Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya
peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di
Indonesia, yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara sampai ke Galuh,
Pakuan Pajajaran, dan Sumedang Larang. Kerajaan Sunda merupakan
kerajaan yang cinta damai, selama pemerintahannya tidak melakukan
ekspansi untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Keturunan Kerajaan Sunda
telah melahirkan kerajaan- kerajaan besar di Nusantara diantaranya
Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Mataram, Kerajaan
Cirebon, Kerajaan Banten, dll.
Tome
Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental (1513 – 1515),
menyebutkan batas wilayah Kerajaan Sunda di sebelah timur sebagai
berikut: “Sementara
orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa.
Sebagian orang lainnya berkata bahwa Kerajaan Sunda mencakup sepertiga
Pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Katanya, keliling Pulau Sunda
tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Ci Manuk.'
Rabu, 06 Februari 2013
Tradisi khitanan atau sunatan
Tradisi khitanan atau sunatan pada
masyarakat Sunda dilakukan satu hari sebelum hari mengkhitan anak.
Sehari sebelum dikhitan, si anak laki-laki akan diarak keliling desa bak
seorang raja cilik. Si anak atau disebut juga penganten sunat diarak
diatas tandu kecil yang sudah dihias sedemikian rupa. Yang mengarak
biasanya anggota keluarga, kerabat, dan tetangga.
Rombongan penganten sunat ini keliling
desa ditemani dengan kesenian Sunda yang meriah. Ada yang menggunakan
kesenian tanjidor, yaitu orkes tardisional dari Suku Betawi dengan
menggunakan alat musik tiup, gesek, dan perkusi. Ada juga yang mengarak
dengan dimeriahkan kesenian sisingaan.
Sisingaan adalah kesenian Sunda yang
menggunakan tandu berbentuk kepala dan badan singa. Dalam pesta khitanan
yang menggunakan sisingaan, si anak laki-laki yang akan dikhitan diarak
diatas tandu singan tersebut. Selain itu ada pula yang mengarak dengan
menampilakan kesenian kuda renggong.
Saung Angklung Mang Udjo
Sekarang saatnya kita berlibur dengan cara yang unik, yaitu dengan
bermain angklung! Bandung yang penuh dengan kreatifitas dan kesenian ini
menyimpan sebuah tempat yang menjadi pusat budaya warisan nasional kita
di bidang alat musik rakyat yaitu angklung. Nama tempat ini adalah
Saung Angklung Udjo atau sering disingkat SAU. Beberpa orang juga
menyebutnya dengan Saung Angklung Mang Udjo.
Sesuai dengan nama tempatnya, memang tempat ini didirikan oleh Udjo Ngalagena didampingi oleh istri nya Uum Sumiati. Tempat ini satu-satunya tempat yang menjadi pusat dari kesenian angklung dan juga memproduksi angklung. Hal inilah yang menjadikan Saung Angklung Udjo sebagai pusat pendidikan dan penelitian angklung, kesenian dan kebudayaan Sunda. Dengan berlatar belakang menyatukan budaya dan alam, Saung Angklung Udjo berhasil menyita perhatian wisatawan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dilihat dari setiap pementasannya selalu penuh dengan turis-turis mancanegara. Dengan lokasinya yang terletak di bandung Timur, SAU adalah tempat yang tepat untuk menikmati indahnya alat musik tradisional yang berasal dari bambu tersebut.
Alamat Saung Angklung Udjo tepatnya berada di Jalan Padasuka no 118, Bandung Timur. Akses menuju tempat ini sangatlah mudah karena melewati jalan utama. Jika Anda mengendarai mobil pribadi keluarlah di tol Pasteur lalu lewati flyover Pasupati sampai ke jalan Surapati lalu mengarah ke kiri Anda sudah mencapai jalan Padasuka. Dengan papan penunjuk yang besar menuju SAU, Anda tidak akan tersasar menuju tempat ini. Namun jika Anda memilih untuk naik angkutan umum, silahkan pilih angkot dengan jurusan Cicaheum, cukup katakan pada supir angkot bahwa Anda ingin turun di Saung Mang Udjo, karena tempat tersebut kurang lebih hanya 500 meter sebelum angkot mencapai terminal Cicaheum.
Sesuai dengan nama tempatnya, memang tempat ini didirikan oleh Udjo Ngalagena didampingi oleh istri nya Uum Sumiati. Tempat ini satu-satunya tempat yang menjadi pusat dari kesenian angklung dan juga memproduksi angklung. Hal inilah yang menjadikan Saung Angklung Udjo sebagai pusat pendidikan dan penelitian angklung, kesenian dan kebudayaan Sunda. Dengan berlatar belakang menyatukan budaya dan alam, Saung Angklung Udjo berhasil menyita perhatian wisatawan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dilihat dari setiap pementasannya selalu penuh dengan turis-turis mancanegara. Dengan lokasinya yang terletak di bandung Timur, SAU adalah tempat yang tepat untuk menikmati indahnya alat musik tradisional yang berasal dari bambu tersebut.
Alamat Saung Angklung Udjo tepatnya berada di Jalan Padasuka no 118, Bandung Timur. Akses menuju tempat ini sangatlah mudah karena melewati jalan utama. Jika Anda mengendarai mobil pribadi keluarlah di tol Pasteur lalu lewati flyover Pasupati sampai ke jalan Surapati lalu mengarah ke kiri Anda sudah mencapai jalan Padasuka. Dengan papan penunjuk yang besar menuju SAU, Anda tidak akan tersasar menuju tempat ini. Namun jika Anda memilih untuk naik angkutan umum, silahkan pilih angkot dengan jurusan Cicaheum, cukup katakan pada supir angkot bahwa Anda ingin turun di Saung Mang Udjo, karena tempat tersebut kurang lebih hanya 500 meter sebelum angkot mencapai terminal Cicaheum.
Memahami Filosofi “IKET” dalam Budaya Sunda
Iket dalam budaya sunda memiliki filosofi tersendiri, disebut Makutawangsa : “sing saha bae anu make iket ieu, maka dirina kudu ngalakonkeun PANCADHARMA….“ artinya : “barang siapa yang menggunakan iket ini, harus menjalankan PANCADHARMA…“ Hukum
PANCADHARMA : Apal jeung hormat ka PURWADAKSI DIRI (Menyadari dan
menghormat kepada asal usul diri).Tunduk kana HUKUM jeung ATURAN (Tunduk
akan hukum dan tata tertib/aturan).Berilmu (DILARANG
BODOH..!)Mengagungkan SANG HYANG TUNGGAL (Sang pencipta, Tuhan).Berbakti
kepada BANGSA dan NEGARA.Digambarkan tahapan iket Makutawangsa. Pada tahap pertama disebut OPAT KA LIMA PANCER, dapat juga diartikan diri menyatu dengan unsur-unsur utama alam: Angin, Cai (Air), Taneuh (Tanah) dan Seuneu (Api). Kemudian segiempat tadi dilipat menjadi bentuk segitiga yang merupakan refleksi Diri, Bumi dan Negeri. Refleksi ini dikenal dengan sebutan TRITANGTU dalam falsafah sunda. Kemudian lakukan lipatan sebanyak lima kali, disebut sebagai PANCANITI.Niti Harti (Tahap mengerti)Niti Surti (Taham memahami).Niti Bukti (Tahap membuktikan).Niti Bakti (Tahap membaktikan).Niti Jati (Tahap kesejatian, manunggal dengan sang pencipta)Gambar
berikutnya disebut SANG HYANG TUNGGAL merupakan refleksi dari sang
pencipta. Dan gambar terakhir adalah gambar iket yang sudah jadi
menempel di kepala. Lungguh pada gambar terakhir adalah refleksi patuh pada sang pencipta.Filosofi diatas adalah pemahaman pribadi mengenai filosofi iket sunda.Budaya
mengalami perkembangan. Termasuk dalam jenis-jenis iket sendiri.
Adalah Mochamad Asep Hadian Adipraja, saya sebut sebagai seorang
pemerhati iket sunda. Saya mengenal Kang Asep dari seorang teman yang
gemar dengan kebudayaan sunda. Dan sampai saat ini Kang Asep masih
mengumpulkan rupa-rupa iket yang ada di Nusantara. Kang Asep dalam blognya pulasaraiket
menganalisa bahwa iket dapat digolongkan menjadi dua model utama :Rupa
Iket Buhun; adalah rupa iket yang sudah terdapat di kampung-kampung
adat, dan sudah menjadi pola kebiasaan sehari-hari dalam penggunaannya
tanpa tercampur oleh budaya atau elemen dari luar.Rupa Iket Reka-an;
adalah rupa iket hasil karya dari pribadi dengan kreasi yang
disukainya, namun pada prinsipnya adalah tetap menggunakan kain
segiempat.Berikut adalah rupa iket yang berhasil dikumpulkan :RUPA IKET BUHUNParekos
Jéngkol; Parekos Nangka; Barangbang Semplak; Julang
Ngapak; Koncér; Kuda Ngencar; Lohen; Kebo Modol; Kolé Nyangsang; Buaya
Ngangsar; Porténg; Parekos Gedang ( Kampung Ciptagelar ); Ki Parana (
Kampung Ciptagelar ); Udeng ( Kampung Ciptagelar ); Pa’tua ( Kampung
Ciptagelar ); Babarengkos ( Kampung Ciptagelar ); Iket Adat Kampung
Ciptagelar 1 ( Kampung Ciptagelar ); Iket Adat Kampung Naga 1; Iket Adat
Kampung Naga 2; Iket Adat Kampung Dukuh; Iket Adat Kampung Cikondang
1; Iket Adat Rancakalong;
RUPA IKET RÈKA-ANParékos Candra Sumirat; Parékos Maung Leumpang; Parékos Batu Amparan; Parékos Dua Adegan; Parékos KiPahare; Kujang Dua
RUPA IKET RÈKA-ANParékos Candra Sumirat; Parékos Maung Leumpang; Parékos Batu Amparan; Parékos Dua Adegan; Parékos KiPahare; Kujang Dua
Asal usul iket Sunda
Iket atau penutup kepala dari kain merupakan bagian dari kelengkapan
sehari-hari pria di pulau Jawa, sampai sekitar awal tahun 1900 an Penggunaan
iket bagi pria akil balik menjadi keharusan karena dipercaya melindungi
mereka dari roh-roh jahat, selain untuk fungsi-fungsi praktis seperti
wadah /pembungkus, selimut, bantalan untuk mengangkut beban di kepala
dlsb.
Iket ini dibuat dari kain batik segi empat yang dilipat sedemikian rupa menjadi model-model khas. Terdapat perbedaan model iket untuk di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Iket ini dibuat dari kain batik segi empat yang dilipat sedemikian rupa menjadi model-model khas. Terdapat perbedaan model iket untuk di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Bangunan Cagar Budaya di Paris Van Java "Bandung"
Dibandung banyak sekali bangunan cagar budaya yang memiliki nilai
arsitektural tinggi terbesar di penjuru kota bandung, tapi sayangnya
seringkali aset budaya ini tidak terpelihara atau bahkan sengaja
dibongkar.
Bangunan cagar budaya ini perlu kita lestarikan, tidak hanya karena nilai sejarah dan arsitekturalnya, namun juga merupakan sebagai potensi ekonomi dan pembentukan citra kota.
Dengan melestarikan cagar budaya ini berarti kita telah menjaga sejarah indonesia, khususnya kota bandung. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan budayanya ?
Mari kita kenali bangunan cagar budaya yang merupakan jejak sejarah di indonesia.
Dibawah ini adalah sebagian dari bangunan cagar budaya dikota bandung yang bisa saya tunjukan, jika masih kurang bisa maaf ya ,, ^_^.. tapi boleh diusulkan
.1. Gedung Merdeka
2. Aula Barat ITB
Bangunan cagar budaya ini perlu kita lestarikan, tidak hanya karena nilai sejarah dan arsitekturalnya, namun juga merupakan sebagai potensi ekonomi dan pembentukan citra kota.
Dengan melestarikan cagar budaya ini berarti kita telah menjaga sejarah indonesia, khususnya kota bandung. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan budayanya ?
Mari kita kenali bangunan cagar budaya yang merupakan jejak sejarah di indonesia.
Dibawah ini adalah sebagian dari bangunan cagar budaya dikota bandung yang bisa saya tunjukan, jika masih kurang bisa maaf ya ,, ^_^.. tapi boleh diusulkan
.1. Gedung Merdeka
2. Aula Barat ITB
Sejarah kebudayaan sunda
Tatar Sunda mulai mengenal aksara pada abad ke-5 Masehi, di era kerajaan
Tarumanagara. Sejumlah bukti yang ditemukan pada prasasti Kebon Kopi,
Ciarunteun, Tugu, dan Jambu yang dituliskan kira-kira pada 450 Masehi,
menunjukkan bahwa ciri-ciri tipe Pallawa awal yang dipergunakan di tanah
Sunda memiliki hubungan dengan aksara-aksara pada prasasti-prasasti
yang ditemukan di India Selatan dan Sri Lanka pada abad ke-3 hingga abad
ke-5 Masehi.
Sebagai perbandingan, banyak literatur sejarah Tanah Air menyebutkan bahwa aksara pertama kali ditemukan di wilayah Nusantara pada sekitar abad ke-4 sampai ke-5 Masehi, berdasarkan prasasti yang ditemukan pada zaman Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur).
Dari dua temuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa awal perkembangan peradaban di Tanah Sunda berlangsung nyaris berbarengan dengan perkembangan peradaban di wilayah Nusantara. Aksara dalam konteks sejarah ditempatkan sebagai lambang kemajuan adab dan media yang memacu perkembangan peradaban. Selain itu, aksara digunakan sebagai satu dari sejumlah indikator yang membedakan pembagian zaman prasejarah (manusia belum mengenal aksara) dengan zaman sejarah (telah mengenal aksara).
Sebagai perbandingan, banyak literatur sejarah Tanah Air menyebutkan bahwa aksara pertama kali ditemukan di wilayah Nusantara pada sekitar abad ke-4 sampai ke-5 Masehi, berdasarkan prasasti yang ditemukan pada zaman Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur).
Dari dua temuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa awal perkembangan peradaban di Tanah Sunda berlangsung nyaris berbarengan dengan perkembangan peradaban di wilayah Nusantara. Aksara dalam konteks sejarah ditempatkan sebagai lambang kemajuan adab dan media yang memacu perkembangan peradaban. Selain itu, aksara digunakan sebagai satu dari sejumlah indikator yang membedakan pembagian zaman prasejarah (manusia belum mengenal aksara) dengan zaman sejarah (telah mengenal aksara).
Asal Usul Nama Kota Bandung
Tahukah Anda asal usul nama kota bandung? Menurut catatan sejarah kata
“Bandung” berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya
sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang kemudian membentuk
telaga. Namun, menurut mitos masyarakat setempat nama “Bandung” diambil
dari sebuah kendaraan air yang terdiri dari dua perahu yang diikat
berdampingan yang disebut perahu bandung yang digunakan oleh Bupati
Bandung. Kota Bandung merupakan kota metropolitan terbesar di Jawa Barat
dan sekaligus menjadi ibu kota provinsi tersebut. Selain itu, kota
bandung juga merupakan kota terbesar ketiga di indonesia setelah Jakarta
dan Surabaya. Nama lain dari kota Bandung adalah Kota Kembang, dan
dahulu juga bandung dikenal dengan Parijs Van Java.
Selain itu kota Bandung juga dikenal sebagai kota belanja, dengan mall dan factory outlet yang banyak tersebar di kota ini. Dan pada tahun 2007, British Council menjadikan kota Bandung sebagai pilot project kota terkreatif se-Asia Timur. Saat ini kota Bandung merupakan salah satu kota tujuan utama pariwisata dan pendidikan. Berikut ini duniabaca.com kutip dari Wikipedia mengenai asal-usul sejarah kota bandung.
Selain itu kota Bandung juga dikenal sebagai kota belanja, dengan mall dan factory outlet yang banyak tersebar di kota ini. Dan pada tahun 2007, British Council menjadikan kota Bandung sebagai pilot project kota terkreatif se-Asia Timur. Saat ini kota Bandung merupakan salah satu kota tujuan utama pariwisata dan pendidikan. Berikut ini duniabaca.com kutip dari Wikipedia mengenai asal-usul sejarah kota bandung.
Minggu, 03 Februari 2013
Sejarah Karinding
ka-rinding adalah satu grup musik etnik yang berasal dari kota kembang.
Dimana mereka mengusung karinding sebagai instrument utama dalam
bermusik. Ka-Rinding sendiri terbentuk pada tanggal 08 April 2012,
dengan personil awal 2 orang. Galang “Inoe” (Militian Wolfstein) dan
Aditiya “Black” Wijaya (Friday in 13th). Konsep dari Ka-Rinding sendiri
adalah eksplorasi alat musik bambu, dimana mereka tidak hanya terpaku
pada satu instrument saja. Ada beberapa alat musik yang dimainkan adalah
hasil inovasinya. Salah satunya modifikasi dari celempung sunda yang
memiliki resonansi yang lebih ketimbang celempung biasa.
Seiring berjalannya waktu, Ka-Rinding berkembang dengan masuknya Jeihan (Friday in 13th) dan Hilva sebagai personil baru. Tidak hanya bermusik, tapi Ka-Rinding pun secara rutin melakukan workshop disanggar-sanggar dikota Karawang dengan tema “Workshop Bebas Eksplorasi Karinding dan Alat Musik Bambu”.
Tujuan terbentuknya Ka-Rinding sendiri adalah bukan semata menjadi sebuah grup atau komunitas, melainkan Ka-Rinding sendiri berharap mereka bisa menjadi keluarga atau rumah kedua bagi para personilnya dan melestarikan kebudayaan tradisional Indonesia melalui perkembangan dunia modern. .
Seiring berjalannya waktu, Ka-Rinding berkembang dengan masuknya Jeihan (Friday in 13th) dan Hilva sebagai personil baru. Tidak hanya bermusik, tapi Ka-Rinding pun secara rutin melakukan workshop disanggar-sanggar dikota Karawang dengan tema “Workshop Bebas Eksplorasi Karinding dan Alat Musik Bambu”.
Tujuan terbentuknya Ka-Rinding sendiri adalah bukan semata menjadi sebuah grup atau komunitas, melainkan Ka-Rinding sendiri berharap mereka bisa menjadi keluarga atau rumah kedua bagi para personilnya dan melestarikan kebudayaan tradisional Indonesia melalui perkembangan dunia modern. .
Langganan:
Postingan (Atom)