Calung, mungkin terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Tidak
banyak yang mengetahui alat musik tradisional khas Sunda ini. Padahal
prototipe dari Angklung ini juga memiliki harmoni yang sedap didengar
dan tentunya memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi.
Berbeda dengan Angklung, Calung tidak dimainkan dengan cara digoyangkan melainkan dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu yang digunakan biasanya bambu awi wulung atau bambu hitam. Meski terkadang dapat dijumpau Calung yang terbuat dari awi temen atau bambu putih.
Calung dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran oleh anak-anak pada waktu itu. Asal usul terciptanya musik bambu calung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut. Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana, yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama calung.
Perkembangan selanjutnya dalam permainan calung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (berirama) dengan pola dan aturan-aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan dan calung.
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
Calung Rantay
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.
Calung Jinjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.
Calung jinjing yang digunakan dalam pertunjukan biasa bertangga nada Salendro ( bertangga nada Pelog ) serta Madenda ( nyorog ). Waditra calung jinjing merupakan perkembangan dari bentuk calung Rantai/ calung Gambang , calung dalam bentuk ini sudah merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan .
Calung jinjing berasal dari bentuk dasar calung rantay ini telah dibuat dalam empat bagian bentuk wadrita yang terpisah , keempat buah wadrita terpisah ini memainkan dengan cara dijinjing oleh empat pemain dan masing-masing memegang calung dalam fungsi berbeda . Wadrita calung terdiri dari 1. Kingking, 2. Panepas, 3. jongjong, 4. gonggong, sedangkan Calung Kingking jumlahnya limabelas nada / oktaf dalam nada yang paling kecil ( tertinggi )
Calung Panepas jumlahnya lima potong untuk lima nada (1 Oktaf) nadanya merupakan sambungan nada terendah calung kingking dan dari lima nada tersebut ada yang yang dibagi dua ada yang digorok ( disatukan jongjong seperti halnya panepas yang berbeda hanya nadanya yang lebih rendah dari panepas ) nada panepas bentuknya selalu tinggi dibagi dua yaitu 3 potong untuk nada berturut-turut dari yang tinggi , dua potong untuk dua nada lanjutan
Calung Gonggong merupakan calung yang paling besar jumlahnya hanya dua bumbung yang disatukan keduanya dalam nada rendah diantara keseluruhan calung . Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal adalah calung jinjing.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Pengemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan.
Seni pertunjukkan calung saat ini telah mengalami banyak perkembangan dalam penyajiannya dan bentuknya. Pada awal keberadaannya kesenian calung berfungsi sebagai sarana ritual, yaitu upacara penghormatan terhadap Dewi Sri pada perayaan panen, namun seiring berjalannya waktu, pertunjukan calung kini bergeser fungsi menjadi sarana hiburan bagi masyarakat umum. Hal ini terjadi setelah calung mengalami perubahan dalam pengemasannya.
Setelah mengalami masa perkembangan dalam bentuk dan kemasannya , kesenian calung telah melahirkan banyak grup yang cukup dikenal oleh masyarakat, diantaranya calung UNPAD, calung Ria Buana, calung DAMAS, Layungsari, grup calung Glamour , Jebrag dan banyak lainnya.
Dari beberapa grup calung di atas telah melahirkan para vokalis atau penyanyi calung yang pada prinsipnya memiliki sebuah warna vokal atau ciri yang khas di bandingkan jenis vokal pada karawitan Sunda, seperti pada kawih, tembang, dan sebagainya. Salah satu penyanyi lagu-lagu calung yang cukup dikenal masyarakat hingga kini adalah Hendarso atau Darso. Masyarakat mengenal dengan baik sosok Darso dari gaya yang khas dalam membawakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Suara vokal yang disertai ornamentasi-ornamentasi, gaya berpakaian dan sikap dalam bernyanyi seakan-akan menjadi suatu ciri yang khas dan akrab bagi masyarakat. Mengutip ungkapan Yus Wiradiredja dalam Iman Herawandi bahwa : ‘Kelebihan dari grup lain, Calung Darso memiliki penggarapan seni yang baik, terutama penyajian dan pengolahan suaranya belum ada yang menyisihkan’. Hal ini diperkuat oleh pendapat Ubun Kubarsah pada sumber yang sama :
“Grup Calung Darso memiliki identitas pembawaan vocal dari juru sekarnya yaitu Hendarso dalam menyanyikan lagu-lagu, baik karya lagu sendiri atau karya orang lain, teknik vocal khas, bentuk lagu sederhana banyak ornamentasinya. Sehingga setiap lagu yang dibawakan baik lagu sendiri maupun lagu orang lain terasa lagu tersebut memiliki identitas suara Darso” ( Herawandi 1997:6).
Tidak diketahui apa yang melatarbelakangi penampilan Hendarso dalam membawakan setiap lagu yang dinyanyikannya, suaranya, cara berpakaiannya, apakah ia ‘mencontoh’ penampilan dari salah seorang penyanyi yang pernah ada sebelumnya, ataukah ini dapat dipandang sebagai sebuah kreativitas dari seorang Hendarso. Seperti yang di ungkapkan Guilford dalam Deni Hermawan mengenai definisi kreativitas pada dimensi person menyatakan :”Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people” (Kreatifitas diartikan sebagai kemampuan yang merupakan sifat-sifat orang kreatif) . Ataukah kreativitas Darso terbentuk melalui sebuah proses berkesenian, mengacu pada pendapat Munandar yang menyatakan :”Creativity is a process that manifest it self in fluency, in flexibility as well as in originality of thinking” (Kreativitas adalah suatu proses yang tercermin sendiri dalam kelancaran, keluwesan juga keaslian pemikiran) .
Jika ditinjau dari hasil karya seni, kata “calung” memiliki dua arti, yaitu sebagai alat karawitan (waditra) dan sebagai Seni Pertunjukan.Pengertian Calung, sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam Kamus Umum Basa Sunda, terbitan Lembaga Basa dan Sastra Sunda, artinya “tatabeuhan tina awi guluntungan, aya nu siga gambang, aya nu ditiir sarta ditakolannana bari dijingjing”. Bahan baku pembuatan calung mempergunakan bambu. Bambu yang biasa dipergunakan untuk membuat calung adalah bambu wulung atau dikenal nama awi wulung yang berwarna hitam atau putih.
Tentunya berbagai alat musik yang digunakan memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pada awalnya, calung berfungsi sebagai sarana upacara ritual masyarakat sunda. Calung difungsikan sebagai alat pengiring dalam upacara adat seperti mapag sri. Selain sebagai media upacara ritual, calung pun berfungsi sebagai alat hiburan dan seni pertunjukan.
Dalam perkembangannya, fungsi calung bergeser pada fungsi yang terakhir, yakni sebagai seni pertunjukan.Sebagai seni pertunjukan yang menggunakan alat pokok calung, calung telah melahirkan beberapa seniman.Kita lihat saja seniman asal Jawa Barat, Hendarso (Darso), yang menunjukkan bakat seninya yang diiringi dengan calung. Sebenarnya, para inohong Sunda sangat bergembira dengan munculnya Darso.Darso telah dianggap mempopulerkan calung sebagai alat musik tradisional sunda.
Gaya seni pertunjukan Darso ternyata telah merasuk kepada para penerus musik tradisional sunda.Untuk mengikuti perkembangan zaman, sekarang calung telah dipadukan dengan jenis musik tertentu, yakni dangdut. Ada sebutan yang menarik bagi jenis musik calung ini, yaitu caldut (calung dangdut).
Kesenian tradisional Calung Tarawangsa Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu khasanah musik tradisional Jawa Barat yang sudah dikenal sejak abad ke 18. Kondisinya saat ini semakin memprihatinkan akibat terhimpit kesenian lain yang lebih modern. “Selain akibat modernisasi yang terus menggerus nilai-nilai kelokalan sampai di pelosok pedesaan. Punahnya kesenian tradisional, juga akibat ditinggalkan pemainya berpulang ke Rachmatullah dan juga ditinggalkan generasi mudanya yang sebenarnya sebagai pewaris,” ujar Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, Dra. Hj. Rosdiana Rachmiwaty, MM.
Padahal menurut Rosdiana, selain merupakan bagian kekayaan bangsa, kesenian tradisional seperti halnya Calung Tarawangsa Cibalong merupakan jatidiri serta ciri bangsa.
“Di mana seperti diungkapkan para pelakunya, bahwa mereka mendapat warisan kesenian tersebut dari kakek buyutnya untuk senantiasa dijaga dan dirawat karena menjadi bagian dari ciri bangsa yang pernah dibuktikan sebagai alat penyambut rombongan kerajaan Thailand yang berkunjung ke kerajaan Sukapura (Tasikmalaya) dan kerajaan Galuh (Ciamis),” terang Rosdiana.
Meski terdengar hebat pada zamannya, namun kesenian Calung kini mulai jarang terdengar di setiap pagelaran. Kesenian khas Jawa Barat tersebut kini mulai tergeser dengan kesenian barat yang kerap mengisi telinga anak-anak hingga orang dewasa, di setiap acara yang melibatkan orang banyak. (rk)
Berbeda dengan Angklung, Calung tidak dimainkan dengan cara digoyangkan melainkan dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu yang digunakan biasanya bambu awi wulung atau bambu hitam. Meski terkadang dapat dijumpau Calung yang terbuat dari awi temen atau bambu putih.
Calung dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran oleh anak-anak pada waktu itu. Asal usul terciptanya musik bambu calung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut. Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana, yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama calung.
Perkembangan selanjutnya dalam permainan calung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (berirama) dengan pola dan aturan-aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan dan calung.
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
Calung Rantay
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.
Calung Jinjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.
Calung jinjing yang digunakan dalam pertunjukan biasa bertangga nada Salendro ( bertangga nada Pelog ) serta Madenda ( nyorog ). Waditra calung jinjing merupakan perkembangan dari bentuk calung Rantai/ calung Gambang , calung dalam bentuk ini sudah merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan .
Calung jinjing berasal dari bentuk dasar calung rantay ini telah dibuat dalam empat bagian bentuk wadrita yang terpisah , keempat buah wadrita terpisah ini memainkan dengan cara dijinjing oleh empat pemain dan masing-masing memegang calung dalam fungsi berbeda . Wadrita calung terdiri dari 1. Kingking, 2. Panepas, 3. jongjong, 4. gonggong, sedangkan Calung Kingking jumlahnya limabelas nada / oktaf dalam nada yang paling kecil ( tertinggi )
Calung Panepas jumlahnya lima potong untuk lima nada (1 Oktaf) nadanya merupakan sambungan nada terendah calung kingking dan dari lima nada tersebut ada yang yang dibagi dua ada yang digorok ( disatukan jongjong seperti halnya panepas yang berbeda hanya nadanya yang lebih rendah dari panepas ) nada panepas bentuknya selalu tinggi dibagi dua yaitu 3 potong untuk nada berturut-turut dari yang tinggi , dua potong untuk dua nada lanjutan
Calung Gonggong merupakan calung yang paling besar jumlahnya hanya dua bumbung yang disatukan keduanya dalam nada rendah diantara keseluruhan calung . Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal adalah calung jinjing.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Pengemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan.
Seni pertunjukkan calung saat ini telah mengalami banyak perkembangan dalam penyajiannya dan bentuknya. Pada awal keberadaannya kesenian calung berfungsi sebagai sarana ritual, yaitu upacara penghormatan terhadap Dewi Sri pada perayaan panen, namun seiring berjalannya waktu, pertunjukan calung kini bergeser fungsi menjadi sarana hiburan bagi masyarakat umum. Hal ini terjadi setelah calung mengalami perubahan dalam pengemasannya.
Setelah mengalami masa perkembangan dalam bentuk dan kemasannya , kesenian calung telah melahirkan banyak grup yang cukup dikenal oleh masyarakat, diantaranya calung UNPAD, calung Ria Buana, calung DAMAS, Layungsari, grup calung Glamour , Jebrag dan banyak lainnya.
Dari beberapa grup calung di atas telah melahirkan para vokalis atau penyanyi calung yang pada prinsipnya memiliki sebuah warna vokal atau ciri yang khas di bandingkan jenis vokal pada karawitan Sunda, seperti pada kawih, tembang, dan sebagainya. Salah satu penyanyi lagu-lagu calung yang cukup dikenal masyarakat hingga kini adalah Hendarso atau Darso. Masyarakat mengenal dengan baik sosok Darso dari gaya yang khas dalam membawakan lagu-lagu yang dinyanyikan. Suara vokal yang disertai ornamentasi-ornamentasi, gaya berpakaian dan sikap dalam bernyanyi seakan-akan menjadi suatu ciri yang khas dan akrab bagi masyarakat. Mengutip ungkapan Yus Wiradiredja dalam Iman Herawandi bahwa : ‘Kelebihan dari grup lain, Calung Darso memiliki penggarapan seni yang baik, terutama penyajian dan pengolahan suaranya belum ada yang menyisihkan’. Hal ini diperkuat oleh pendapat Ubun Kubarsah pada sumber yang sama :
“Grup Calung Darso memiliki identitas pembawaan vocal dari juru sekarnya yaitu Hendarso dalam menyanyikan lagu-lagu, baik karya lagu sendiri atau karya orang lain, teknik vocal khas, bentuk lagu sederhana banyak ornamentasinya. Sehingga setiap lagu yang dibawakan baik lagu sendiri maupun lagu orang lain terasa lagu tersebut memiliki identitas suara Darso” ( Herawandi 1997:6).
Tidak diketahui apa yang melatarbelakangi penampilan Hendarso dalam membawakan setiap lagu yang dinyanyikannya, suaranya, cara berpakaiannya, apakah ia ‘mencontoh’ penampilan dari salah seorang penyanyi yang pernah ada sebelumnya, ataukah ini dapat dipandang sebagai sebuah kreativitas dari seorang Hendarso. Seperti yang di ungkapkan Guilford dalam Deni Hermawan mengenai definisi kreativitas pada dimensi person menyatakan :”Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people” (Kreatifitas diartikan sebagai kemampuan yang merupakan sifat-sifat orang kreatif) . Ataukah kreativitas Darso terbentuk melalui sebuah proses berkesenian, mengacu pada pendapat Munandar yang menyatakan :”Creativity is a process that manifest it self in fluency, in flexibility as well as in originality of thinking” (Kreativitas adalah suatu proses yang tercermin sendiri dalam kelancaran, keluwesan juga keaslian pemikiran) .
Jika ditinjau dari hasil karya seni, kata “calung” memiliki dua arti, yaitu sebagai alat karawitan (waditra) dan sebagai Seni Pertunjukan.Pengertian Calung, sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam Kamus Umum Basa Sunda, terbitan Lembaga Basa dan Sastra Sunda, artinya “tatabeuhan tina awi guluntungan, aya nu siga gambang, aya nu ditiir sarta ditakolannana bari dijingjing”. Bahan baku pembuatan calung mempergunakan bambu. Bambu yang biasa dipergunakan untuk membuat calung adalah bambu wulung atau dikenal nama awi wulung yang berwarna hitam atau putih.
Tentunya berbagai alat musik yang digunakan memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pada awalnya, calung berfungsi sebagai sarana upacara ritual masyarakat sunda. Calung difungsikan sebagai alat pengiring dalam upacara adat seperti mapag sri. Selain sebagai media upacara ritual, calung pun berfungsi sebagai alat hiburan dan seni pertunjukan.
Dalam perkembangannya, fungsi calung bergeser pada fungsi yang terakhir, yakni sebagai seni pertunjukan.Sebagai seni pertunjukan yang menggunakan alat pokok calung, calung telah melahirkan beberapa seniman.Kita lihat saja seniman asal Jawa Barat, Hendarso (Darso), yang menunjukkan bakat seninya yang diiringi dengan calung. Sebenarnya, para inohong Sunda sangat bergembira dengan munculnya Darso.Darso telah dianggap mempopulerkan calung sebagai alat musik tradisional sunda.
Gaya seni pertunjukan Darso ternyata telah merasuk kepada para penerus musik tradisional sunda.Untuk mengikuti perkembangan zaman, sekarang calung telah dipadukan dengan jenis musik tertentu, yakni dangdut. Ada sebutan yang menarik bagi jenis musik calung ini, yaitu caldut (calung dangdut).
Kesenian tradisional Calung Tarawangsa Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu khasanah musik tradisional Jawa Barat yang sudah dikenal sejak abad ke 18. Kondisinya saat ini semakin memprihatinkan akibat terhimpit kesenian lain yang lebih modern. “Selain akibat modernisasi yang terus menggerus nilai-nilai kelokalan sampai di pelosok pedesaan. Punahnya kesenian tradisional, juga akibat ditinggalkan pemainya berpulang ke Rachmatullah dan juga ditinggalkan generasi mudanya yang sebenarnya sebagai pewaris,” ujar Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, Dra. Hj. Rosdiana Rachmiwaty, MM.
Padahal menurut Rosdiana, selain merupakan bagian kekayaan bangsa, kesenian tradisional seperti halnya Calung Tarawangsa Cibalong merupakan jatidiri serta ciri bangsa.
“Di mana seperti diungkapkan para pelakunya, bahwa mereka mendapat warisan kesenian tersebut dari kakek buyutnya untuk senantiasa dijaga dan dirawat karena menjadi bagian dari ciri bangsa yang pernah dibuktikan sebagai alat penyambut rombongan kerajaan Thailand yang berkunjung ke kerajaan Sukapura (Tasikmalaya) dan kerajaan Galuh (Ciamis),” terang Rosdiana.
Meski terdengar hebat pada zamannya, namun kesenian Calung kini mulai jarang terdengar di setiap pagelaran. Kesenian khas Jawa Barat tersebut kini mulai tergeser dengan kesenian barat yang kerap mengisi telinga anak-anak hingga orang dewasa, di setiap acara yang melibatkan orang banyak. (rk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar