Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki
lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini
disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang
juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala
Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba,
Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat
siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan
dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka, yaitu Neraka.
SEJARAH PERKEMBANGAN KUJANG
Kujang sangat identik dengan Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini
berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu.
Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum
ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci.
Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara)
yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang
banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih
lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung
Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir
abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal
(pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan
intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang
besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul
Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar
langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan
sekitarnya. Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam
setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi,
jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara
menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai
kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah
kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau
melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor
tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera
Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan
gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh
disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.
Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini
tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M)
maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di
daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang
sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini
pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.
Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi
masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran
bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang
berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan
cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru
kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir
antara abad 9 sampai abad 12.
Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak
dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda
obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan
kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping
yang tersimpan di museum-museum.
Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk kujang
pada lambang-lambang daerah, pada badge badge organisasi kemasyarakatan
atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan), sebagai benda
aksesori atau cenderamata.
Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten
masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata
hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan”
(tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten,
Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten
Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang
Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten. Dalam lingkungan
budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada
upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan
pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun
Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala
subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas)
masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).
sumber: http://pv-garut.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar